“Jika keputusan seorang pejabat digunakan untuk memperkaya pihak tertentu, termasuk keluarga, maka itu termasuk penyalahgunaan kewenangan. Ancaman hukumannya tidak main-main, bisa mencapai 20 tahun penjara,” ujar Ketua YLBHI Reza Tanzil, S.H.
BLANGPIDIE, inforakyat.co – Dugaan keterlibatan orang-orang dekat Bupati Aceh Barat Daya (Abdya) dalam aktivitas pertambangan bijih besi di Kecamatan Manggeng menuai sorotan publik, disinyalir oknum adik dan tenaga ahli bupati terlibat.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Aceh Cabang Abdya, Reza Tanzil, S.., menilai dugaan tersebut berpotensi menimbulkan benturan kepentingan serta pelanggaran terhadap prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Menurut Reza Tanzil, apabila benar proyek pertambangan tersebut melibatkan adik kandung dan tenaga ahli bupati, sementara izin atau rekomendasi dikeluarkan langsung oleh kepala daerah, maka situasi itu dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
"Pasal 17 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan secara tegas melarang pejabat publik mengambil keputusan yang di dalamnya terdapat kepentingan pribadi atau keluarga. Dalam konteks ini, keterlibatan pihak keluarga dalam proyek yang mendapat rekomendasi dari bupati jelas tidak etis dan berpotensi melanggar hukum," kata Reza saat dihubungi awak media, Senin (6/10/2025).
Ketua YLBHI Cabang Abdya itu menambahkan, praktik semacam itu tidak hanya melanggar norma etika penyelenggaraan pemerintahan, tetapi juga dapat masuk dalam ranah pidana korupsi.
Baca Juga:
Gempar, Tengkorak Ditemukan di Puskesmas Bukit Gadeng, Tim Inafis Polres Aceh Selatan Olah TKP
Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menjerat pejabat publik apabila terbukti menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan diri sendiri, keluarga, atau kelompok tertentu.
"Jika keputusan seorang pejabat digunakan untuk memperkaya pihak tertentu, termasuk keluarga, maka itu termasuk penyalahgunaan kewenangan. Ancaman hukumannya tidak main-main, bisa mencapai 20 tahun penjara," ujar Reza.
Selain aspek etik dan hukum, Reza juga menyoroti sisi prosedural dalam penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), setiap izin harus dikeluarkan secara transparan, partisipatif, dan bebas dari konflik kepentingan.
"Izin yang diterbitkan tanpa keterbukaan publik atau terindikasi adanya kepentingan keluarga pejabat, secara hukum dapat dibatalkan melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," ujarnya menegaskan.
YLBHI Aceh Cabang Abdya Dorongan Langkah Hukum
Lebih lanjut, YLBHI Aceh Cabang Abdya menyatakan siap memberikan pendampingan hukum bagi masyarakat yang merasa dirugikan akibat aktivitas tambang tersebut. Reza menilai, langkah hukum yang sistematis lebih efektif dibanding sekadar aksi penolakan di lapangan.
"Langkah awal adalah mengumpulkan bukti, mulai dari dokumen izin, nama-nama pihak yang terlibat, hingga dampak lingkungan yang timbul. Setelah itu, masyarakat dapat melaporkan dugaan pelanggaran ke lembaga yang berwenang," jelasnya.
Ia menyebut beberapa jalur pelaporan, antara lain Inspektorat Daerah atau Kementerian Dalam Negeri untuk pelanggaran etika dan administrasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk dugaan penyalahgunaan kewenangan, Ombudsman RI untuk laporan maladministrasi, serta Kementerian ESDM atau Dinas ESDM Aceh untuk aspek teknis pertambangan.
Pihaknya juga mendorong kolaborasi publik dengan organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, JATAM, dan jaringan bantuan hukum lainnya agar isu tersebut tidak berhenti di wacana.
"Persoalan ini bukan semata tentang izin tambang, tetapi tentang tata kelola sumber daya alam yang harus bebas dari kepentingan pribadi dan politik. Ketika kepala daerah tidak menjaga netralitas, maka yang paling dirugikan adalah rakyat dan lingkungan," pungkas Reza Tanzil. ||